Bab wawu sebagai pengganti dhammah (kitab at Tuhfah as Saniyah Syarhal Muqoddimah al Ajurumiyah)
وَأَمَّا الْوَاوُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي مَوْضِعَيْنِ: فِي جَمْعِ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ وَفِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ وَهِيَ أَبُوكَ وَأَخُوكَ وَحَمُوكَ وَفُوكَ وَذُو مَالٍ
“Adapun huruf wawu menjadi tanda bagi l’rab rafa’ pada dua tempat yaitu pada jamak mudzakkar salim dan pada asmaul khomsah
( ذو مال ,فوك , حموك ،أخوك ، أبوك )
وَأَقُولُ: تَكُونُ الۡوَاوُ عَلَامَةً عَلَى رَفۡعِ الۡكَلِمَةِ فِي مَوۡضِعَيۡنِ، الۡأَوَّلُ: جَمۡعُ الۡمُذَكَّرِ السَّالِمُ، وَالۡمَوۡضِعُ الثَّانِي: الۡأَسۡمَاءُ الۡخَمۡسَةُ
Aku (Mushonnif) berkata : Wawu menjadi tanda rafa’ sebuah kata pada dua tempat. Pertama pada jamak mudzakkar salim. dan ke dua pada al asma` al khamsah.
أَمَّا جَمۡعُ الۡمُذَكَّرِ السَّالِمُ، فَهُوَ: اسۡمٌ دَلَّ عَلَى أَكۡثَرَ مِنَ اثۡنَيۡنِ، بِزِيَادَةٍ فِي آخِرِهِ، صَالِحٌ لِلتَّجۡرِيدِ عَنۡ هٰذِهِ الزِّيَادَةِ، وَعَطۡفِ مِثۡلِهِ عَلَيۡهِ، نَحۡوُ: (فَرِحَ الۡمُخَلَّفُونَ)، (لَّٰكِنِ الرَّٰسِخُونَ فِي الۡعِلۡمِ مِنۡهُمۡ وَالۡمُؤۡمِنُونَ)، (وَلَوۡ كَرِهَ الۡمُجۡرِمُونَ)، إِنۡ يَكُنۡ مِنۡكُمۡ عِشۡرُونَ صَٰبِرُونَ)، (وَءَاخَرُونَ اعۡتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمۡ)
Adapun jamak mudzakkar salim adalah kata yang menunjukkan (banyak) lebih dari dua dengan tambahan di akhirnya, (dan kata ini) bisa di tanggalkan (di kosongkan) dari tambahannya dan juga bisa di athafkan kepada kalimat isim yang semisalnya. Contoh :
فَرِحَ الۡمُخَلَّفُونَ
“(orang-orang yang tidak ikut berperang) merasa gembira.” [QS. At Taubah : 81)
لَّٰكِنِ الرَّٰسِخُونَ فِي الۡعِلۡمِ مِنۡهُمۡ وَالۡمُؤۡمِنُونَ
“Tetapi (orang-orang yang mendalam) ilmunya di antara mereka dan orang-orang mu’min).” [QS. An-Nisaa: 162]
وَلَوۡ كَرِهَ الۡمُجۡرِمُونَ
“Walupun (orang-orang yang berdosa) itu tidak menyukainya.” [QS. An-Anfal: 8]
إِنۡ يَكُنۡ مِنۡكُمۡ عِشۡرُونَ صَٰبِرُونَ
“Jika ada 20 orang yang bersabar di antara kamu.” [QS. Al Anfal: 65]
وَءَاخَرُونَ اعۡتَرَفُوا بِذُنُوبِهِم
“Adapula orang-orang yang lainya mengakui akan dosa-dosa mereka.” [QS. At-Taubah: 102]
فَكُلٌّ مِنَ (الۡمُخَلَّفُونَ) وَ (الرَّاسِخُونَ) وَ (الۡمُؤۡمِنُونَ) و (الۡمُجۡرِمُونَ) وَ (صَابِرُونَ) وَ (آخَرُون) جَمۡعُ مُذَكَّرٍ سَالِمٌ، دَالٌّ عَلَى أَكۡثَرَ مِنَ اثۡنَيۡنِ، وَفِيهِ زِيَادَةٌ فِي آخِرِهِ – وَهِيَ الۡوَاوُ وَالنُّونُ – وَهُوَ صَالِحٌ لِلتَّجۡرِيدِ مِنۡ هٰذِهِ الزِّيَادَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّكَ تَقُولُ: مُخَلَّفٌ، وَرَاسِخٌ، وَمُؤۡمِنٌ، وَمُجۡرِمٌ، وَصَابِرٌ، وَآخَرُ، وَكُلُّ لَفۡظٍ مِنۡ أَلۡفَاظِ الۡجُمُوعِ الۡوَاقِعَةِ فِي هٰذِهِ الۡآيَاتِ مَرۡفُوعٌ، وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ الۡوَاوُ نِيَابَةً عَنِ الضَّمَّةِ، وَهٰذِهِ النُّونُ الَّتِي بَعۡدَ الۡوَاوِ عِوَضٌ عَنِ التَّنۡوِينِ فِي قَوۡلِكَ: مُخَلَّفٌ وَأَخَوَاتُهُ، وَهُوَ الۡإِسۡمُ الۡمُفۡرَدُ
Setiap dari kata الۡمُخَلَّفُونَ, الرَّاسِخُونَ, الۡمُؤۡمِنُونَ, الۡمُجۡرِمُونَ, صَابِرُونَ, آخَرُون merupakan jamak mudzakkar salim, (kata) yang menunjukkan makna lebih dari dua. Dan padanya juga terdapat tambahan di akhirnya yaitu huruf wawu dan nun. Ia boleh untuk di kosongkan dari tambahan tersebut, bukankah anda sudah melihat sendiri bahwa anda bisa untuk mengatakan :
مُخَلَّفٌ, رَاسِخٌ , مُؤۡمِنٌ , مُجۡرِمٌ , صَابِرٌ , آخَرُ
Dan setiap lafazh dari lafazh-lafazh jamak yang terdapat pada ayat-ayat ini adalah marfu’ (di I’rab rofa’), tanda rafa’nya adalah wawu sebagai ganti dari dhammah. Dan huruf nun yang terletak setelah huruf wawu adalah pengganti dari tanwin pada ucapanmu : مُخَلَّفٌ dan saudara-saudaranya, sedang ia adalah isim mufrad.
وَأَمَّا الْأَسْمَاءُ الْخَمْسَةُ فَهِيَ هَذِهِ الْأَلْفَاظُ الْمَحْصُورَةُ الَّتِي عَدَّهَا الْمُؤَلِّفُ – وَهِيَ: أَبُوكَ، وَأَخُوكَ، وَحَمُوكَ، وَفُوكَ، وَذُو مَالٍ – وَهِيَ تُرْفَعُ بِالْوَاوِ نِيَابَةً عَنِ الضَّمَّةِ، تَقُولُ: (حَضَرَ أَبُوكَ، وَأَخُوكَ، وَحَمُوكَ، و فُوكَ، وَذُو مَالٍ)، وَكَذَا تَقُولُ هَذَا أَبُوكَ وَتَقُولُ : أَبُوكَ رَجُلٌ صَالِحٌ وَقَالَ اللهُ تَعَالَى : وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ، مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُمْ ، وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ ، إِنِّي أَنَا أَخُوكَ ، فَكُلُّ اسْمٍ مِنْهَا فِي هَذِهِ الْأَمْثِلَةِ مَرْفُوعٌ، وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْوَاوُ نِيَابَةً عَنِ الضَّمَّةِ، وَمَا بَعْدَهَا مِنَ الضَّمِيرِ أَوْ لَفْظِ (مَال) أَوْ لَفْظِ (عِلْم) مُضَافٌ إِلَيْهِ
Adapun asmaul khomsah adalah lafazd-lafadz tertentu yang telah di sebutkan oleh Mushonnif (penulis), yaitu : (أَبُوكَ), (أَخُوكَ), (حَمُوكَ),(حَمُوكَ), (ذُو مَال). Dan ia (asmaul khomsah) di i’rab rafa’ dengan wawu sebagai pengganti dhammah. Contoh, kamu berkata :
حَضَرَ أَبُوكَ، وَأَخُوكَ، وَحَمُوكَ، وَنَطَقَ فُوكَ، وَذُو مَالٍ
Demikian juga perkataanmu :
(Ini bapakmu) هَذَا أَبُوكَ
(Bapakmu adalah orang yang shalih) أَبُوكَ رَجُلٌ صَالِحٌ
وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُمْ
Menurut yang diperintahkan bapak mereka. (QS. Yusuf : 68)
وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ
Sesungguhnya dia memiliki pengetahuan (QS. Yusuf : 68)
إِنِّي أَنَا أَخُوكَ
Sesungguhnya aku ini adalah saudaramu (QS. Yusuf: 69)
Maka setiap isim dari contoh-contoh tersebut adalah isim isim yang di I’rab rafa’, dan tanda rafa’nya adalah dengan wawu sebagai pengganti dari dhammah. Adapun dhomir (kata ganti), lafazh مال atau عِلْم yang jatuh setelahnya merupakan mudhaf ilaih.
وَاعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْأَسْمَاءَ الْخَمْسَةَ لَا تُعْرَبُ هَذَا الْإِعْرَابَ إِلَّا بِشُرُوطٍ، وَهَذِهِ الشُّرُوطُ مِنْهَا مَا يُشْتَرَطُ فِي كُلِّهَا، وَمِنْهَا مَا يُشْتَرَطُ فِي بَعْضِهَا
Ketahuilah, bahwa asmaul khamsah ini tidak dii’rab dengan i’rab ini (yaitu di rafa’kan dengan wawu, di nashobkan dengan alif dan di jerkan dengan ya’) kecuali dengan beberapa syarat. Dan syarat-syarat ini diantaranya ada yang di persyaratkan pada seluruh Asmaul khamsah dan ada yang di persyaratkan pada sebagian Asmaul Husna saja.
أَمَّا الشُّرُوطُ الَّتِي تُشْتَرَطُ فِي جَمِيعِهَا فَأَرْبَعَةُ شُرُوطٍ: الْأَوَّلُ: أَنْ تَكُونَ مُفْرَدَةً، وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُكَبَّرَةً، وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ مُضَافَةً، وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ إِضَافَتُهَا لِغَيْرِ يَاءِ الْمُتَكَلِّمِ
Adapun syarat-syarat yang disyaratkan pada seluruh asmaul khamsah ada empat syarat. Pertama : Hendaknya berbentuk mufrad. Kedua : Harus berbentuk mukabbarah. Ketiga : isim tersebut harus mudhaf. Keempat : idhafahnya kepada selain dhomir ya’ mutakallim.
فَخَرَجَ بِاشْتِرَاطِ الْإِفْرَادِ مَا لَوْ كَانَتْ مُثَنَّاةً أَوْ مَجْمُوعَةً جَمْعَ مُذَكَّرٍ أَوْ جَمْعَ تَكْسِيرٍ؛ فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ جَمْعَ تَكْسِيرٍ أُعْرِبَتْ بِالْحَرَكَاتِ الظَّاهِرَةِ، تَقُولُ: (الْآبَاءُ يُرَبُّونَ أَبْنَاءَهُمْ) وَتَقُولُ: (إِخْوَانُكَ يَدُكَ الَّتِي تَبْطِشُ بِهَا)، وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: (آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ)، (إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ)، (فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا)، وَلَوْ كَانَتْ مُثَنَّاةً أُعْرِبَتْ إِعْرَابَ الْمُثَنَّى بِالْأَلِفِ رَفْعًا وَبِالْيَاءِ نَصْبًا وَجَرًّا، وَسَيَأْتِي بَيَانُهُ قَرِيبًا، تَقُولُ: (أَبَوَاكَ رَبَّيَاكَ) وَتَقُولُ: (تَأَدَّبْ فِي حَضْرَةِ أَبَوَيْكَ) وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: (وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ)، (فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ)، وَلَوْ كَانَتْ مَجْمُوعَةً جَمْعَ مُذَكَّرٍ سَالِمًا رُفِعَتْ بِالْوَاوِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ، وَنُصِبَتْ وَجُرَّتْ بِالْيَاءِ، تَقُولُ: (هَؤُلَاءِ أَبُونَ وَأَخُونَ)، وَتَقُولُ: (رَأَيْتُ أَبِينَ وَأَخِينَ) وَلَمْ يُجْمَعْ بِالْوَاوِ وَالنُّونِ غَيْرُ لَفْظِ الْأَبِ وَالْأَخِ، وَكَانَ الْقِيَاسُ يَقْتَضِي أَلَّا يُجْمَعُ شَيْءٌ مِنْهَا هَذَا الْجَمْعَ
Keluar dengan pensyaratan bahwa al asmaul khomsah itu harus mufrad, adalah jikalau isim-isim tersebut berupa mutsanna, jamak mudzakkar, atau jamak taksir. Sehingga jikalau sekiranya isim tersebut berupa jamak taksir, maka ia dii’rab dengan menggunakan harakat yang nampak. Contoh :
الْآبَاءُ يُرَبُّونَ أَبْنَاءَهُمْ
Para bapak sedang mendidik anak – anak mereka
إِخْوَانُكَ يَدُكَ الَّتِي تَبْطِشُ بِهَا
Saudar saudara laki-lakimu adalah tanganmu yang dapat engkau gunakan untuk menyergap
Allah Ta’ala berfirman:
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ
“Bapak-bapakmu dan anak-anakmu.” [QS : An-Nisa’: 11]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” [QS : Al-Hujurat: 10]
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Kalian menjadi bersaudara karena nikmat Allah.” [QS : Ali-Imran: 103]
Kemudian Jikalau sekiranya asmaul khomsah tersebut berupa mutsanna, maka ia dii’rab dengan i’rab mutsanna yaitu rafa’ dengan alif, nashab dan jar dengan ya’. Dan penjelasannya akan datang sebentar lagi. Contoh :
أَبَوَاكَ رَبَّيَاكَ
(Kedua orang tuamu telah mendidikmu)
تَأَدَّبْ فِي حَضْرَةِ أَبَوَيْكَ
(Beradablah di hadapan kedua orang tuamu)
dan Allah ta’ala berfirman:
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ
“Dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana.” [QS. Yusuf : 100]
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Karena itu damaikanlah antara dua saudaramu.” [QS. Al Hujurat : 10]
Dan jikalau sekiranya asmaul khomsah tersebut berupa jama’ mudzakkar salim, maka ia dirafa’ kan dengan huruf wawu sebagaimana yang sudah lewat pembahasannya, dan ia dinashabkan dan dijer kan dengan huruf ya’. Contoh :
هَؤُلَاءِ أَبُونَ وَأَخُونَ
(Mereka adalah para bapak dan saudara laki-laki)
رَأَيْتُ أَبِينَ وَأَخِينَ
(Saya melihat para bapak dan saudara laki-laki) Dan tidaklah Asmaul khomsah itu dijamak menggunakan huruf wawu dan nun kecuali hanya lafadz (الْأب) dan (الْأَخ). Dan secara qiyas tidak menuntut asmaul khamsah di jamak dengan jamak ini. (sebagian orang arab menjama’ asmaul khomsah dengan jamak ini dan ini bahasa yang lemah karena menyelisihi qiyas_ red pen)
وَخَرَجَ بِاشْتِرَاطِ (أَنْ تَكُونَ مُكَبَّرَةً) مَا لَوْ كَانَتْ مُصَغَرَةٌ، فَإِنَّهَا حِينَئِذٍ تُعْرَبُ بِالْحَرَكَاتِ الظَّاهِرَةِ؛ تَقُولُ: (هَذَا أُبَيٌّ وَأُخَيٌّ)؛ وَتَقُولُ: (رَأَيْتُ أُبَيًّا وَأُخَيًّا) وَتَقُولُ: (مَرَرْتُ بِأُبَيٍّ وَأُخَيٍّ
Dan keluar dengan pensyaratan bahwa isim harus berbentuk mukabbarah adalah asmaul khomsah Jikalau sekiranya ia berbentuk mushagharah. Sehingga jika ia berbentuk mushagharah, maka dia di i’rab dengan menggunakan harakat yang nampak. Contoh :
هَذَا أُبَيٌّ وَأُخَيٌّ
(Ini bapak dan saudara laki-laki kecil ku)
رَأَيْتُ أُبَيًّا وَأُخَيًّا
(Saya melihat bapak dan saudara laki-laki kecil ku)
مَرَرْتُ بِأُبَيٍّ وَأُخَيٍّ
(Saya melewati bapak dan saudara laki-laki kecil ku)
وَخَرَجَ بِاشْتِرَاطِ (أَنْ تَكُونَ مُضَافَةً) مَا لَوْ كَانَتْ مُنْقَطِعَةً عَنِ الْإِضَافَةِ فَإِنَّهَا حِينَئِذٍ تُعْرَبُ بِالْحَرَكَاتِ الظَّاهِرَةِ أَيْضًا، تَقُولُ: (هَذَا أَبٌ) وَتَقُولُ: (رَأَيْتُ أَبًا) وَتَقُولُ: (مَرَرْتُ بِأَبٍ) وَكَذَلِكَ الْبَاقِي، وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: (وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ)، (إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ)، (قَالَ ائْتُونِي بِأَخٍ لَكُمْ مِنْ أَبِيكُمْ)، (إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا).
Dan keluar dengan pensyaratan bahwa isim harus mudhaf, adalah asmaul khomsah jikalau sekiranya ia tidak di idhafahkan. Sehingga jika ia tidak di idhafahkan, maka ia di i’rab dengan menggunakan harakat yang nampak juga. Contoh:
(Ini adalah seorang bapak) هَذَا أَبٌ
(Saya melihat seorang bapak) رَأَيْتُ أَبًا
(Saya melewati seorang bapak) مَرَرْتُ بِأَبٍ
Dan asmaul khomsah yang lain pun juga demikian. Allah ta’ala berfirman:
وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ
“… Dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja)…” (QS. An Nisa :12)
إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ
“Jika ia mencuri, maka sesungguhnya, telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu”.(QS. Yusuf : 77)
قَالَ ائْتُونِي بِأَخٍ لَكُمْ مِنْ أَبِيكُمْ
“ia (Yusuf) berkata: “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin)…” .(QS. Yusuf: 59)
إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا
“…sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya…”. (QS. Yusuf : 78)
وَخَرَجَ بِاشْتِرَاطِ (أَنْ تَكُونَ إِضَافَتَهَا لِغَيْرِ يَاءِ الْمُتَكَلِّمِ) مَا لَوْ أُضِيفَتْ إِلَى هَذِهِ الْيَاءِ؛ فَإِنَّهَا حِينَئِذٍ تُعْرَبُ بِحَرَكَاتٍ مُقَدَّرَةٍ عَلَى مَا قَبْلَ يَاءِ الْمُتَكَلِّمِ مَنَعَ مِنْ ظُهُورِهَا اشْتِغَالُ الْمَحَلِّ بِحَرَكَةِ الْمُنَاسَبَةِ؛ تَقُولُ: (حَضَرَ أَبِي وَأَخِي)، وَتَقُولُ: (احْتَرَمْتُ أَبِي وَأَخِي الْأَكْبَرَ)، وَتَقُولُ: (أَنَا لَا أَتَكَلَّمُ فِي حَضْرَةِ أَبِي وَأَخِي الْأَكْبَرِ) وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: (إِنَّ هَذَا أَخِي)، (أَنَا يُوسُفُ وَهَذَا أَخِي)، (فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي).
Dan keluar dengan pensyaratan bahwa isim harus di idhafahkan kepada selain huruf ya’ mutakallim, adalah asmaul khomsah yang di idhafahkan kepada huruf ya’ ini. Karena pada kondisi ini, isim tersebut di i’rab dengan menggunakan harakat yang diperkirakan pada huruf sebelum ya’ mutakallim yang ia terhalang nampak karena tempatnya sudah di pakai oleh harakat munasabah (harakat yang sesuai dengan ya’ mutakallim yaitu kasrah. Contoh:
حَضَرَ أَبِي وَأَخِي
Telah hadir bapakku dan saudara laki-lakiku
احْتَرَمْتُ أَبِي وَأَخِي الْأَكْبَرَ
Saya memuliakan bapakku dan kakak laki-lakiku
أَنَا لَا أَتَكَلَّمُ فِي حَضْرَةِ أَبِي وَأَخِي الْأَكْبَرِ
Saya tidak akan berbicara di hadapan bapakku dan kakak laki-lakiku
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ هَذَا أَخِي
Sesungguhnya saudaraku ini…”. (QS.Shaad : 23)
أَنَا يُوسُفُ وَهَذَا أَخِ
“(… Yusuf menjawab:) “Akulah Yusuf dan ini saudaraku…”. (QS. Yusuf : 90)
فألْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي
“… lalu letakkanlah dia kewajah ayahku…”. (QS. Yusuf : 93)
وَأَمَّا الشُّرُوطُ الَّتِي تُخْتَصُّ بِبَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ؛ فَمِنْهَا أَنَّ كَلِمَةَ فُوكَ لَا تُعْرَبُ هَذَا الْإِعْرَابَ إِلَّا بِشَرْطِ أَنْ تَخْلُوَ مِنَ الْمِيمِ، فَلَوِ اتَّصَلَتْ بِهَا الْمِيمُ أُعْرِبَتْ بِالْحَرَكَاتِ الظَّاهِرَةِ، تَقُولُ: هَذَا فَمٌ حَسَنٌ، وَتَقُولُ: رَأَيْتُ فَمًا حَسَنًا، وَتَقُولُ: نَظَرْتُ إِلَى فَمٍ حَسَنٍ وَهَذَا شَرْطٌ زَائِدٌ فِي هَذِهِ الْكَلِمَةِ بِخُصُوصِهَا عَلَى الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ الَّتِي سَبَقَ ذِكْرُهَا
Adapun syarat-syarat yang dikhususkan pada sebagiannya saja, di antaranya bahwa kata فُوكَ tidak dii’rab dengan i’rab ini kecuali dengan harus kosong dari huruf mim. Karena jika bersambung dengan huruf mim, maka ia di i’rab dengan harakat yang nampak. Contoh:
هَذَا فَمٌ حَسَنٌ
Ini adalah mulut yang baik
رَأَيْتُ فَمًا حَسَنًا
Saya melihat mulut yg bagus
نَظَرْتُ إِلَى فَمٍ حَسَنٍ
Saya melihat ke mulut yang bagus
Dan ini adalah syarat tambahan pada kata ini secara khusus di samping empat syarat yang telah lewat penyebutannya.
وَمِنْهَا أَنَّ كَلِمَةَ ذُولَا تُعْرَبُ هَذَا الْإِعْرَابَ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: الْأَوَّلُ: أَنْ تَكُونَ بِمَعْنَى صَاحِبٌ، وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الَّذِي تُضَافُ إِلَيْهِ اسْمَ جِنْسِ ظَاهِرًا غَيْرَ وَصْفٍ؛ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِمَعْنَى صَاحِبٍ – بِأَنْ كَانَتْ مَوْصُولَةً فَهِيَ مَبْنِيَّةٌ
Di antaranya pula bahwa kata ذُو tidak dii’rab dengan i’rab ini kecuali dengan dua syarat. Pertama : Hendaknya bermakna صاحب (yang mempunyai/memiliki). Kedua: Hendaknya yang di idhafahkan ke kata ini adalah isim jenis dhahir bukan sifat. Sehingga, jika kata ini tidak bermakna صاحب (yang mempunyai/memiliki), maka ia merupakan isim maushul (kata sambung), dan ia mabni.
وَمِثَالُهَا غَيْرَ مَوْصُولَةٍ قَوْلُ أَبِي الطيب الْمتنبى: ذُو الْعَقْلِ يَشْقَى فِي النَّعِيمِ بِعَقْلِهِ وَأَخُو الْجَهَالَةِ فِي الشَّقَاوَةِ يَنْعَمُ . وَهَذَانِ الشَّرْطَانِ زَائِدَانِ فِي هَذِهِ الْكَلِمَةِ بِخُصُوصِهَا عَلَى الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ الَّتِي سَبَقَ ذِكْرُهَا
Contoh kata yang tidak berfungsi sebagai isim maushul adalah perkataan Abu Thayyib Al Mutanabbi : Orang yang memiliki akal sengsara dalam kenikmatan dengan akal. Sedangkan orang bodoh dalam kesengsaraan bergembira)