Dalam ilmu nahwu al I’rab secara garis besar di bagi menjadi tiga :
Pertama : I’rab Lafdzy
I’rab Lafdzy adalah perubahan yang dhahir (nampak) pada akhir kalimat disebabkan ‘amil. Hal ini terdapat pada kalimat-kalimat mu’rab selain mu’tal akhir (kalimat yang akhirannya berupa huruf ‘illat)
Contoh :
يُكرِمُ الأستاذُ المجتهدَ
Ustadz memuliakan (murid) yang bersungguh-sungguh.
Kalimat (يُكْرِمُ) i’robnya nampak yaitu rofa’ dengan alamat dhommah karena ia merupakan fiil mudlori’ shohih akhir yang tidak kemasukan awamil nawashib, awamil jawazim dan tidak bersambung dengan nun taukid serta nun niswah di akhirnya.
Kemudian kalimat (الأستاذُ), i’robnya juga nampak yaitu rofa’ dengan alamat dhommah, karena ia berupa isim mufrod yang menjadi fa’il (pelaku pekerjaan).
Begitupun dengan kalimat (المجتهدَ), i’robnya juga nampak yaitu nashob dengan alamat fathah karena ia berupa isim mufrod yang menjadi maf’ul bih (sasaran pekerjaan).
Ke dua : I’rab Taqdiriy
I’rab Taqdiry adalah perubahan akhir kalimat yang di taqdirkan (dikira- kirakan) karena tidak nampak atau terlihat. Hal ini terdapat pada kalimat-kalimat berikut :
Pertama, pada kalimat mu’rob yang berakhiran huruf illat [ا, و , ي] baik kalimat fi’il maupun isim. Contoh :
يَقْضِي القَاضِي عَلَى الفَتَى المُجْرِمِ
Hakim menjatuhkan hukuman kepada pemuda yang berbuat kejahatan.
Kalimat (يقضِي) merupakan fi’il mudhori’ mu’tal akhir yang tidak kemasukan awamil jawazim dan tidak bersambung dengan nun taukid serta nun niswah di akhirnya, sehingga ia ber i’rab rofa’ dengan tanda dhommah yang di takdirkan (di perkirakan), tanda i’rabnya di perkirakan karena sebab ast tsiqol (berat dalam pengucapan).
Kalimat (القاضِي) termasuk isim mu’rob yang di sebut dengan isim manqush (isim yang berakhiran huruf ya’ sebelumnya berharokat kasroh), dalam jumlah diatas dia berposisi sebagai fail yang di hukumi marfu’, dan tanda rafa’-nya dengang dhommah muqoddaroh (yang di perkirakan) karena sebab ats tsiqol (berat dalam pengucapan).
Kalimat (الفَتَى) termasuk isim mu’rob yang di sebut dengan isim maqshur (isim yang berakhiran huruf alif tegak/bengkong sebelumnya berharokat fathah), dalam jumlah di atas dia berposisi sebagai isim majrur karena kemasukan huruf jer, ia di hukumi majrur, dan tanda jernya dengan kasroh muqoddaroh (yang di perkirakan), karena sebab at ta’adzur (huruf yang menjadi tempat tanda i’rab yaitu alif tidak bisa menerima harokat).
Ke dua, pada kalimat yang di-mudhof-kan pada ya’ mutakallim. Contoh :
أَطَعْتُ رَبِّي
Aku taat kepada Rabbku.
Kalimat (ربّ) adalah kalimat yang mudhof pada ya’ al mutakallim (ي), dalam jumlah di atas ia berposisi sebagai maf’ul bih (sasaran pekerjaan) yang dihukumi manshub, dan tanda nashobnya dengan fathah muqoddaroh (yang di perkira-kirakan) pada huruf sebelum ya’ al mutakallim (ي) karena sebab al munasabah (menyesuaikan harokat yang cocok sebelum huruf ya’ (ي) yaitu harokat kasroh).
Ke tiga, pada I’rab hikayah
bukan jumlah. Hikayah adalah memaksudkan lafadz sebagaimana ia terdengar. Contoh :
“كَتبتُ “يَعلمُ
saya menulis lafadz “يَعلمُ”
Kalimat (يعلمُ) merupakan kalimat mahky (kalimat yang di ceritakan), dalam jumlah di atas dia berposisi sebagai maf’ul bih (sasaran pekerjaan) yang di hukumi manshub, dan tanda nashobnya dengan fathah muqoddaroh (yang di perkirakan), di mana ia terhalang nampak oleh harokat hikayah yaitu dhommah pada kalimat (يعلمُ).
Ke empat, pada i’rab al musamma bih (yang di beri nama dengan kalimat mabni atau jumlah), contoh ada seseorang di namai dengan “حَيْثُ) & (جَادَ الحَقُّ)) :
أَكرَمْتُ حَيْثُ
Saya memuliakan pak Haitsu.
Kalimat (حيثُ) merupakan kalimat mabni yang di jadikan nama untuk seseorang, dalam jumlah di atas dia berposisi sebagai maf’ul bih yang di hukumi manshub, dan tanda nashobnya adalah fathah muqoddaroh (yang di perkirakan), di mana ia terhalang nampak oleh harokatul bina’ al ashliyyi (harokat asli dari isim mabni yang di jadikan nama).
Contoh lain :
أَكْرَمْتُ جَادَ الحَقُّ
Saya memuliakan pak Zaadal haqqu.
Dalam jumlah diatas (جَادَ الحَقُّ) merupakan jumlah yang di jadikan nama untuk seseorang, di mana posisinya dalam jumlah sebagai maf’ul bih yang dihukumi mamshub, dan tanda nshobnya dengan fathah muqoddaroh (yang di perkirakan), ia terhalang nampak oleh harokatul i’rab al ashliyyi (harokat asli isim mu’rob pada jumlah yang di jadikan nama) yaitu dhommah pada kalimat (الحَقُّ).
Ke tiga : I’rab Mahalliy
I’rab Mahally adalah perubahan akhir kalimat yang bersifat I’tibariy (sebatas anggapan) hal ini terdapat pada :
Pertama, pada kalimat-kalimat yang mabni. Contoh :
أَكرمتُ مَنْ تَعَلَّمَ
Saya memuliakan orang yang belajar.
Kalimat (من) di atas merupakan kalimat isim yang mabni. Isim mabni adalah isim yang tidak berubah bacaan akhirnya meskipun kemasukan amil- amil yang berbeda-beda, oleh karenanya ia dalam jumlah di atad hanya di anggap manshub sebagai maf’ul bih.
Ke dua, terdapat pada i’rab hikayah yang berupa jumlah, contoh :
قُلتُ الحَمْدُ لِله
Saya berkata : alhamdulillah
Pada kalam di atas (الحمد لله) merupakan jumlah mahki (jumlah yang diceritakan) yang posisinya hanya di anggap manshub sebagai maf’ul bih. Adapun i’rab nya sebagai berikut : (الحمدُ) ; mubtada’ marfu’ bi dhommah, (لِ) ; harful jer mabni ‘alal kasri, (للهِ) ; lafdzul jalalah majrur wa ‘alamatu jarrihi al kasrotu, dan jumlah ismiyah (الحمد لله) fi mahalli nasbin maf’ul bih.
Semoga bermanfaat.
refrensi : (Kitab Jaami’ud duruus al ‘arobiyah hal :14-18)